Melihat Kiprah Kelompok Tani Gambut Perempuan Sungai Asam, Kubu Raya
Banyaknya lahan gambut bekas kebakaran yang terbengkalai mengundang keprihatinan Emmy Shamiemah (37). Ia lalu merangkul sejumlah perempuan di Desa Sungai Asam, Kubu Raya untuk mengolah kembali lahan tersebut. Berbekal pengetahuan otodidak, ia bersama kelompoknya kemudian mulai menanam nanas. Bagaimana kisahnya?
ASHRI ISNAINI, Sungai Raya
MINGGU pertama Agustus lalu, Emmy bersama empat petani perempuan di Desa Sungai Asam tampak cekatan membersihkan lahan kebun nanas yang dikelolanya dengan cara manual tanpa bakar. Ada yang menebas dan ada pula yang menumbangkan rumput-rumput. Beberapa petani laki-laki turut membantu.
Sejak awal 2016 silam, dia bersama 10 petani perempuan lain di desa ini dipercaya pemerintah desa setempat mengelola sekitar tiga hektare lahan kosong sisa kebakaran lahan. “Sayang melihat banyak lahan terbakar dibiarkan, adi saya putuskan untuk kembali mengelolanya dengan ditanami nanas,” kata Emmy.
Dari tiga hektare lahan yang diberikan, sejauh ini Emmy bersama rekan-rekannya efektif baru mengelola sekitar satu hektare. Hingga kini dia mengaku sudah empat kali panen. Hasilnya dua kali panen besar, dan dua kali panen yang hasilnya tak terlalu banyak. “Sempat hasil panen sedikit karena sebagian sempat terserang hama,” ucapnya.
ANAM NANAS: Emmy Shamiemah bersama para perempuan di Desa Sungai Asam, Kubu Raya menanam nanas di lahan bekas terbakar. ASHRI ISNAINI/ PONTIANAK POST |
Jika hasil tanaman tumbuh baik, sekali panen bisa menghasilkan sekitar 10 ribu buah nanas. Namun saat ada serangan hama, kelompok tani gambut perempuan ini hanya mampu menghasilkan sekitar 7.500 buah. Jika harga sedang stabil, nanas bisa dijual Rp2.000 per buah. Sementara di saat harga anjlok, harganya cuma Rp 500 per buah.
Harga nanas bisa naik dan turun kapan saja. Karena itulah, Emmy bersama rekan-rekannya berinisiatif untuk membuat produk olahan seperti selai nanas, kue lapis, sirup, permen, es krim, kerupuk, dan dodol. Pembuatan produk turunan dari bahan baku nanas ini diyakini dapat memberikan nilai tambah.
Sebab mereka bisa menjual hasil produksinya tanpa khawatir harga anjlok. Saat sudah dapat pasar, hasilnya juga dinilai jauh lebih besar. Sejauh ini, Emmy mengaku kelompoknya masih memproduksi dalam skala kecil dan hanya memasarkan di tingkat desa. Kendalanya adalah keterbatasan alat dan tenaga. “Walau buatnya terbatas, saat lebaran banyak juga ibu rumah tangga pesan produk olahan nanas yang kami buat,” ujarnya.
Emmy sendiri berasal dari Madura. Sejak akhir 2014 lalu, ia memutuskan hijrah ke Sungai Asam karena ikut suami. Sebelumnya ia berprofesi sebagai guru honorer di salah satu SMP Negeri di Bangkalan selama 10 tahun. Profesi itu ia tinggalkan meski dalam beberapa tahun ke depan ada kemungkinan diangkat menjadi PNS.
“Rezeki itu bisa dari mana saja. Yang terpenting keluarga, makanya saya putuskan ikut pindah ke kampung halaman suami di Desa Sungai Asam,” ujarnya.
Setelah setahun tinggal di Sungai Asam, tepatnya pada tahun 2015, Emi kaget melihat maraknya kebakaran lahan di desanya. Akibatnya, kabut asap pun datang menyelimuti. Hal serupa juga terjadi hampir di setiap daerah di Kalbar.
Saat terjadi kabut asap tebal, banyak nelayan yang menggunakan motor air tidak bisa melaut. Ada pula yang kesasar, karena jarak pandang hanya sekitar delapan meter. Kabut asap juga tak jarang membuat warga terkena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Masalah kebakaran lahan ini antara lain dipicu oleh budaya pembukaan lahan dengan cara membakar. Berdasarkan data dari pemerintahan desa setempat, pada tahun 2015 terdapat sekitar 340 hektare lahan hangus dilahap si jago merah.
Dari total luas kebakaran tersebut, sekitar 50 hektare merupakan lahan kebun masyarakat. Kebun-kebun ini didominasi oleh tanaman karet dan nanas. Kebakaran itu membuat banyak tanaman mati sehingga banyak warga yang kehilangan sumber mata pencaharian. Sebagian lantas beralih menjadi pekerja pabrik atau perusahaan sawit. Ada pula yang menjadi buruh bangunan di luar desa.
Kondisi ini membuat Emmy terpanggil. Ia berupaya memulihkan lagi mata pencaharian masyarakat. Salah satunya dengan mengelola lahan yang telah hangus terbakar. Jika sebelumnya banyak petani membuka lahan dengan cara membakar, Emmy justru menghindarinya.
Untuk menanam nanas, pembukaan lahan dilakukannya dengan cara menebas dan menumbangkan rumput-rumput. Meski di tahap awal harus kerja ekstra, membuka lahan tanpa bakar ini dinilai punya banyak keuntungan. Sisa rumput yang ditebas bisa menjadi pupuk organik.
Warga Desa Sungai Asam, Nasimah (37) tertarik menjadi anggota kelompok petani gambut perempuan karena yakin pekerjaan ini bisa menambah penghasilan. Apalagi ia sebelumnya sudah terbiasa membantu suami mengolah lahan pertanian. Nasimah tidak kesulitan beradaptasi, membuka dan mengolah lahan untuk ditanami nanas. Keyakinannya itu pun kini telah terbukti.
“Kalau dijual buah nanasnya saja, harganya tidak stabil, tapi jika dibuat produk turunannya, hasil yang didapat lebih banyak,” ucapnya. Nasimah mencontohkan, saat membuat es krim dari bahan baku air nanas, dengan modal Rp40 ribu, dia mampu meraup keuntungan bersih sekitar Rp150 ribu.
“Produksinya memang masih skala kecil, namun saya yakin kalau pengolahan produk turunan ini ditekuni hasilnya nanti bisa lebih besar,” paparnya. Hal senada juga diakui Dewi, warga Desa Sungai Asam lainnya.
Dewi tertarik ikut bergabung lantaran melihat ada nilai tambah dari menanam dan mengolah produk dengan bahan baku nanas. Sebelumnya, Dewi hanya berstatus sebagai ibu rumah tangga. Seiring berjalannya waktu, dia mulai ingin mendapatkan penghasilan tambahan. “Saya pernah coba dagang online, tetapi tidak maju. Di sini sinyalnya susah,” jelasnya. Karena itulah, ia lalu memutuskan bergabung dengan kelompok tani perempuan dan membuat produk turunannya seperti permen dan dodol nanas.
Presentasi Hingga ke Norwegia
Pada Juni 2017 lalu, Emmy Shamimah didaulat mempresentasikan potensi alam dan produk olahan yang sedang dikembangkan kelompoknya ini di Oslow, Norwegia. Kegiatan tersebut merupakan salah satu event internasional yang mempromosikan pengelolaan hutan lestari.
Pemerintah desa setempat memfasilitasi peningkatan kualitas sumber daya kelompok tani gambut perempuan di desa ini untuk mendapatkan dampingan ke sejumlah instansi terkait. Badan Restorasi Gambut (BRG) Kalbar adalah salah satunya.
Kepala Desa Sungai Asam, Sumardi mengatakan banyaknya lahan gambut membuat desa ini sangat rentan terhadap kebakaran. BRG menetapkan Sungai Asam menjadi salah satu daerah restorasi lahan gambut.
“Kalau saat musim kemarau, dilempar sisa puntung rokok saja gambut itu mudah terbakar. Makanya saat ada pembukaan lahan dengan cara membakar, risiko kebakaran jauh lebih tinggi,” ungkapnya.
Sumardi pun mendukung upaya edukasi petani yang semula membuka lahan dengan cara membakar agar berganti pada cara yang lebih ramah lingkungan. Karena itu, ia mendukung penuh upaya kelompok petani gambut perempuan.
Kelompok tani ini dinilai sebagai sebuah inovasi baru dalam pengembangan sektor pertanian di desanya. “Kami berharap dengan adanya upaya pembukaan lahan tanpa bakar sekaligus bisa membuat produk turunan dari hasil tanaman, bisa mengubah pola pikir masyarakat,” paparnya.
Dinamisator BRG Kalbar, Hermawansyah mengatakan salah satu tugas utama BRG yakni melakukan kerja restorasi gambut yang rusak akibat kebakaran hutan dan lahan. BRG pun menerapkannya melalui Program Desa Peduli Gambut (DPG).
Dia menerangkan, DPG diluncurkan sejak tahun lalu sejak tahun 2017. Kala itu ada 75 desa yang didampingi seluruh Indonesia dengan tujuh provinsi target seperti Kalbar, Kalteng, Sumatera Barat, Papua, Papua Barat, Kalsel, dan Sumsel
Di Kalbar sendiri saat ini terdapat 27 desa yang mendapat dampingan BRG yang terdiri dari 11 desa di Kubu Raya, 10 desa di Kayong Utara dan enam desa di Sambas.
Selain berupaya mengedukasi masyarakat untuk mencegah kebakaran dan memberdayakan potensi ekonomi, BRG juga membuat sekolah lapangan petani gambut. Di sekolah ini masyarakat diajari mengelola lahannya tanpa membakar.
Sejauh ini, kata Hermawansyah, hasil produk olahan masyarakat Desa Sungai Asam belum dipasarkan keluar lantaran terbatasnya alat dan kemasan produk. Ia berharap melalui dampingan BRG dan keterlibatan pemerintah desa serta BUMDes, ke depan pangsa pasar dapat diperluas.(*) (Sumber Pontianak Post)
No comments:
Post a Comment